Pages

Senin, 27 Januari 2014

Kakaktua Secerdas Anak Balita


kakatua
Kakaktua Secerdas Anak Balita. Burung paruh bengkok atau Kakaktua ternyata mampu mengambil kesimpulan logis.
Sebuah studi terhadap seekor kakaktua abu-abu bernama Awisa menunjukkan bahwa burung itu menggunakan logika berpikir untuk mengetahui di mana makanan disembunyikan.
Tugas yang diselesaikan dengan baik oleh Awisa itu adalah sesuatu yang dapat dipahami oleh anak yang masih berusia empat tahun.
Meski tugas itu sederhana, satu-satunya binatang lain yang memperlihatkan kemampuan untuk melakukan pemahaman semacam ini adalah kera besar.
Kemampuan tersebut menjadikan kakaktua abu-abu sebagai binatang non-primata pertama yang mendemonstrasikan kecerdasan logis.
“Kini kami mengetahui bahwa kakaktua abu-abu mampu secara logika mengeluarkan peluang yang salah dan memilih peluang yang benar untuk memperoleh hadiah, yang dikenal sebagai ‘pengambilan kesimpulan dengan pengecualian,’” kata Sandra Mikolasch, kandidat doktor di University of Vienna, Austria, peneliti studi tersebut.
Kakaktua adalah salah satu burung pintar. Salah satu kakaktua abu-abu (Psittacus erithacus) yang terkenal akan kepandaiannya adalah Alex.
Burung itu bahkan memahami konsep “nol”, sesuatu yang tidak dimengerti anak-anak hingga mereka berusia 3 atau 4 tahun. Alex, yang mati pada 2007, hafal kosakata hingga 150 kata yang digunakannya dalam berkomunikasi dua arah dengan peneliti yang bekerja dengannya.
Binatang lain juga terbukti memiliki kecerdasan tinggi. Gajah, misalnya, tahu kapan dan bagaimana harus bekerja-sama. Hyena juga mampu bekerja-sama jauh lebih baik ketimbang primata.
Studi sebelumnya menunjukkan bahwa sekitar satu dari lima ekor simpanse dan kera besar lainnya dapat menggunakan alasan logis untuk menemukan makanan yang sengaja disembunyikan.
Untuk melihat apakah burung dapat melakukan tugas yang sama, Mikolasch dan timnya melatih tujuh ekor kakaktua abu-abu untuk memilih salah satu dari mangkuk yang di dalamnya terdapat makanan yang mereka lihat disembunyikan di situ dan sebuah mangkuk kosong.
Begitu kakaktua itu belajar bagaimana cara untuk memperoleh camilan dengan memilih mangkuk yang benar, Mikolasch merancang sebuah eksperimen untuk menguji kemampuan mereka mengambil kesimpulan dengan pengecualian.
Dalam sebuah tes, dia akan menyembunyikan sepotong makanan, seperti biji-bijian, dalam sebuah mangkuk dan makanan lain, semisal kacang walnut, di mangkuk lainnya.
Burung kakaktua dibiarkan mengamati apa yang dilakukan Mikolasch terhadap makanan dan dua mangkuk itu. Setelah itu, dia akan mengangkat salah satu mangkuk, memperlihatkan makanan itu kepada kakaktua, lalu kembali menyembunyikannya. Atau, dia mengambil mangkuk, menunjukkan makanan itu kepada kakaktua, lalu menaruh makanan tersebut ke dalam sakunya.
Kemudian kakaktua harus memilih mangkuk.Dalam eksperimen kedua, Mikolasch mengerjakan hal yang sama, namun kini dia berada di balik sebuah layar tak tembus pandang.
Kakaktua hanya melihat Mikolasch memegang salah satu jenis makanan yang telah disingkirkan, tapi tidak melihat dia memindahkannya. Jadi, bila kakaktua menggunakan otak mereka, burung itu seharusnya mengetahui bahwa mangkuk yang semula menyimpan jenis makanan itu kini kosong. Kesimpulan logisnya adalah mangkuk lainnya masih berisi makanan di dalamnya.
Jika kakaktua dapat memilih mangkuk berisi makanan secara konsisten, itu menunjukkan mereka melakukan apa yang disebut sebagai pengambilan keputusan logis.
Para peneliti mengendalikan eksperimen tersebut untuk memastikan hasil studi itu bukanlah disebabkan oleh sang burung mengendus bau makanan yang disembunyikan.
Tiga dari tujuh kakaktua itu terbukti dapat memilih dengan tepat mangkuk berisi makanan pada eksperimen ketika mereka melihat para peneliti memindahkan atau menyembunyikan camilan itu.
Ketiga kakaktua itu, Maja, Moritz, dan Awisa, dapat memilih mangkuk berisi makanan dengan benar sekitar 70 persen dalam eksperimen, jauh lebih signifikan ketimbang sekadar kebetulan.
Namun, dalam eksperimen lain, yaitu ketika makanan dipindahkan di balik layar, kemudian baru diperlihatkan kepada kakaktua, hanya Awisa yang dapat mengetahui di mana makanan yang tersisa disembunyikan. Burung betina 13 tahun itu dapat memilih mangkuk yang benar sekitar 76 persen.
Mikolasch mengatakan, kesuksesan itu dapat diraih oleh Awisa karena kemungkinan kakaktua ini adalah “bintang kelas”, mirip murid yang selalu memperoleh nilai A+ di kelas matematika.
Ada kemungkinan burung lain sebenarnya juga mampu berpikir logis, namun ada sesuatu dalam kondisi tes yang membingungkan atau mengganggu konsentrasi mereka.Fakta bahwa tidak semua burung kakaktua dapat menuntaskan misinya dengan baik mengindikasikan bahwa berpikir logis bukanlah tugas mudah bagi mereka.
Empat dari lima kera besar juga mengalami kesulitan dalam eksperimen serupa.Dalam studi sebelumnya, kata Mikolasch, 18 dari 20 anak berusia empat tahun mampu melakukan pemecahan logis yang sama seperti Awisa.
Yang menarik, para peneliti menemukan bahwa Awisa jauh lebih tepat menebak mana mangkuk yang benar ketika burung itu tidak melihat makanan tersebut dipindahkan dibandingkan dengan eksperimen ketika dia melihat seluruh proses. Temuan itu menunjukkan bahwa kakaktua “belajar untuk memperkirakan” apa yang tengah dilakukan peneliti di balik layar.
“Ini adalah satu langkah maju untuk memperlihatkan kemampuan kognitif pada burung dan binatang secara umum,” kata Mikolasch. “Perlu lebih banyak perhatian untuk memenuhi kebutuhan mereka.Mikolasch menyatakan bahwa riset ini adalah alasan untuk menangani binatang dengan hormat.
“Ketika mengetes kakaktua abu-abu di tempat penyelamatan, saya tahu seperti apa buruknya kondisi yang harus mereka alami selama bertahun-tahun sebelum mereka diselamatkan,” katanya.
sumber : http://pulsa-murah.net/

0 komentar:

Posting Komentar